1. UU Pajak Pendapatan 1944 (Ordonansi PPd 1944).
Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui
Ordonansi tersebut diatas, berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, adalah
produk buatan Belanda yang dibuat di Australia.
Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang merupakan kontribusi masyarakat
kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada ditangan fiskus (petugas pajak),
yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta peran aktif masyarakat wp dalam
menentukan besarnya beban pajak yang harus mereka pikul.
Besarnya pajak terutang yang harus dibayar
ditetapkan melalui suatu lembaga yang dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP),
yang untuk tahun berjalan disebut SKP Sementara, yang kemudian pada akhir tahun
diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan mengurangkan pajak terutangnya dari SKP
Sementara.
Subjek Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu :
1.
Subjek Pajak dalam negeri ; dan
2.
Subjek Pajak luar negeri
Yang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban
perpajakannya terdapat perlakuan yang berbeda, antara lain bagi Subjek dalam
negeri berlaku azas domisili, sedangkan bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku
azas sumber. Objek (sasaran) pajak pada
Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian sempit, dimana yang dikenakan pajak
hanya pendapatan-pendapatan yang berasal dari 4 sumber pendapatan yaitu :
1.
Hasil dari usaha dan tenaga.
2.
Hasil dari harta bergerak.
3.
Hasil dari harta tak gerak,
4. Hak atas bayaran berkala.
Pengertian pendapatan selain berbentuk
uang, juga bukan uang seperti natura dan atau kenikmatan yang diterima atau
diperoleh seseorang. Tarif pajak yang
berlaku ada 2 macam, yaitu :
1. Tarif umum, ada 19 lapisan tarif progresif,
tarif marginal mulai dari 5% sampai dengan 50%.
2. Tarif khusus, yang berlaku bagi pendapatan
tertentu sebesar 10%
Pendapatan yang dikenakan pajak adalah
Pendapatan Bersih, yaitu Pendapatan yang telah diurangi dengan Batas Pendapatan
Bebas Pajak (BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun ditentukan menurut Keputusan
Menteri Keuangan.
2. Pajak Perseroan (PPs).
Pajak Perseroan yang diatur melalui
ordonansi PPs. 1925, juga merupakan produk hukum buatan Belanda jauh sebelum
kemerdekaan berakhir dilaksanakan 31 Desember 1983. Guna mengikuti perkembangan
zaman dan situasi, terhadap ordonansi PPs. ini sering dilakukan perubahan dan penyempurnaan
disana sini, dimana perubahan terakhir dan mendasar adalah melalui UU No.8
Tahun 1970, Tentang Perubahan & Penyempurnaan Ordonansi PPs. 1925, yang
antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai perangsang penanaman dan
berbagai bentuk fasilitas perpajakan dalam rangka menampung kegiatan Penanaman
Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967, serta Penanaman Modal Dalam Negeri .UU No. 6
Tahun 1968.
Yang menjadi Subjek Pajak pada PPs. adalah
Badan-Badan, baik yang modalnya terbagi atas saham atau tidak terbagi atas
saham. Subjek Pajak juga dibedakan dan
dibagi atas :
1.
Subjek
Pajak dalam negeri ;
2.
Subjek Pajak luar negeri.
Pengertian laba yang menjadi objek
(sasaran) pengenaan PPs, adalah paham laba material, yaitu berdasarkan
kenyataan atau keadaan sebenarnya dari suatu penerimaan/ pengeluaran, dan tidak
tergantung kepada nama yang diberikan dari suatu penerimaa/ pengeluaran. Demikian pula tidak terikat/dipengaruhi oleh
sistem pembukuan, pandangan, pendapat serta pikiran dari si wajib pajak. Kemudian dalam rangka untuk menciptakan iklim
yang kondusif dari perkembangan ekonomi, beban pajak diintrodusir bermacam
tarif khusus berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.
Dengan demikian tarif yang berlaku ada 2
macam yaitu :
1.
Tarif Umum, dan
2.
Tarif Khusus.
Sistem pengenaan pajak juga dilakukan
dengan sistem official Assessment dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak
(SKP) Sementara diawal tahun, serta SKP Rampung pada akhir tahun.
3. Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty
(PBDR)-UU PBDR 1970.
Latar belakang yang melahirkan PBDR,
adalah bahwa berdasarkan Ordonansi PPd. 1944, dan Ordonansi PPs. 1925, tidak
semua orang dan badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia dapat dikenakan
pajak walaupun mereka memperoleh/menerima pendapatan dari sumber-sumber yang
berasal atau datang dari Indonesia, maka untuk menggali potensi pajak dari
sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12 Tahun 1959, yang mengatur
pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar negeri dengan sistem withholding
tax, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Pajak Deviden 1959.
Dengan terbukanya perekonomian Indonesia
terhadap pihak luar, maka banyak investor dari luar negeri yang melakukan
kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, membuka kegiatan/usaha/partispasi
ke Indonesia sehingga pendapatan bukan hanya dalam bentuk Deviden tapi telah berkembang
dalam bentuk lain seperti bunga, dan royalty. Oleh karena itu UU Pajak Deviden
diperluas objeknya, dan diganti dengan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Deviden,
dan Royalti (UU No. 10 Tahun 1970).
Bagi WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang
dilakukan melalui pemotongan tersebut, merupakan pembayaran pajak dimuka
(cicilan) dari Pajak yang terutang pada akhir tahun melalui perhitungan SKP
Rampung. Bagi WP luar negeri pemotongan
PBDR merupakan pembayaran pajak bersifat final.
4. Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung
Pajak Orang lain (MPO)
Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8
Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn 1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari
pelaksanaan pemenuhan Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan,
dan bukan jenis pajak baru. Dengan
sistem ini WP diberi kepercayaan untuk Menghitung, Menyetor, serta Melaporkan
kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun berjalan, walaupun pada akhir tahun
besarnya pajak terutang kembali ditetapkan oleh Fiskus secara jabatan melalui
penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung, sehingga dapat disebut sistem semi
self-assessment.
Di lain pihak system MPO, adalah
Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Orang lain, apabila
berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor Pajak sebagai pemungut.
Kepada yang kena pungut oleh pemungut diberikan bukti pungutan yang dapat
digunakan oleh yang bersangkutan sebagai pengurang pajak terutang pada akhir
tahun. Sistem MPS-MPO berjalan secara paralel selama tahun berjalan, dan sistem
inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem Self-Assessment pada saat
sekarang.
Kedua tatacara pembayaran dan pemotongan
akan menjadi kredit pajak (pembayaran dimuka) pada akhir tahun pajak. Ekses yang terjadi dari pelaksanaan sistem
MPS-MPO dalam praktek, menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri, ini
terlihat dari laporan penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat Jenderal
Pajak di era tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO setiap
tahun, di samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan, suatu hal
menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur pajak terutang
selama tahun berjalan.
5. Pembaharuan Pajak (Tax-Reform) awal Tahun
1980-an.
Bercermin pada kegagalan pelaksanaan
MPS-MPO, di samping adanya tuntutan yang mendesak, perlunya diadakan
pembaharuan secara menyeluruh dari system perpajakan, dalam rangka memenuhi
tuntutan APBN yang makin tahun semakin meningkat, pemerintah melaksanakan Tax-Reform
secara menyeluruh dibidang perpajakan, dengan mendapat bantuan serta pandangan
secara teknis dari expert luar negeri, dengan tetap memperhatikan landasan
berpikir undang-undang perpajakan yang telah ada seperti PPd, PPs, Pajak
Kekayaan, PBDR, IPEDA (pada waktu itu), serta sistem MPS-MPO yang masih
bersifat semi Self-Assessment.
Arah dan tujuan yang hendak dicapai dari
Tax .Reform, sesuai dengan mukaddimah yang tercantum yang melatar belakangi
pembaruan perpajakan adalah :
1. Ke ikut sertaan serta partisipasi anggota
masyarakat untuk bersama-sama secara gotong royong memikul beban pembiayaan dan
pembangunan, dalam bentuk kontribusi membayar pajak, dalam rangka kemandirian bangsa.
2. Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan
bagi masyarakat sebagai pembayar pajak
3. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka
meningkatkan pertumbuhan pemerataan, pembangunan, dan investasi diseluruh
wilayah RI.
4. Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama
ekspor non migas, barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan
perolehan devisa.
5. Menunjang usaha pengembangan usaha kecil,
untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dalam rangka pengentasan
kemiskinan.
6. Menunjang pengembangan sumber daya manusia,
ilmu pengetahuan, dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumbar daya alam dan
lingkungan hidup.
7. Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan
yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak,
termasuk penyederhanaan, dan kemudahaan prosedur dalam pemenuhan kewajiban
perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban
perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum
yang berlaku.
8. Mencegah timbulnya pengenaan pajak yang
berganda, dan mencegah terjadi penghindaran dari kewajiban membayar pajak.
9. Penyederhanaan sistem tarip pajak, serta
mencegah terjadi penyeludupan pajak yang merugikan pendapatan negara.
Dengan
dilandasi serta latar belakang yang disebut diatas maka lahirlah :
1. Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, Tentang
Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan atau disingkat KUP.
2. Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak
Penghasilan (PPh).
3. Undang-Undang No. 8 Tahun 1984, Tentang Pajak
Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah
(PPNPPn.BM).
Tiga
UU ini kemudian disusul dengan 2 UU lagi yaitu ;
1. Undang-Undang No.12 Thn 1985, Tentang Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB).
2. Undang .Undang No. 13 Tahun 1985, Tentang Bea
Meterai (BM). Seluruh UU yang disebut diatas, kecuali UU Bea Meterai (UU
No.13), telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan.