Rabu, 13 Maret 2013

RIWAYAT SINGKAT PENGENAAN PAJAK PENGHASILAN DI INDONESIA.




1.   UU Pajak Pendapatan 1944 (Ordonansi PPd 1944).

    Pajak Pendapatan yang diberlakukan melalui Ordonansi tersebut diatas, berlaku sampai dengan 31 Desember 1983, adalah produk buatan Belanda yang dibuat di Australia.  Tugasnya menetapkan besarnya pajak terutang yang merupakan kontribusi masyarakat kepada negara dalam mengisi kas APBN, berada ditangan fiskus (petugas pajak), yang mencerminkan kurangnya partisipasi serta peran aktif masyarakat wp dalam menentukan besarnya beban pajak yang harus mereka pikul.

   Besarnya pajak terutang yang harus dibayar ditetapkan melalui suatu lembaga yang dinamakan Surat Ketetapan Pajak (SKP), yang untuk tahun berjalan disebut SKP Sementara, yang kemudian pada akhir tahun diterbitkan lagi SKP Rampung, dengan mengurangkan pajak terutangnya dari SKP Sementara.

      Subjek Pajaknya dibagi 2 (dua) yaitu :
1.   Subjek Pajak dalam negeri ; dan
2.   Subjek Pajak luar negeri

   Yang dalam pelaksanaan hak dan kewajiban perpajakannya terdapat perlakuan yang berbeda, antara lain bagi Subjek dalam negeri berlaku azas domisili, sedangkan bagi Subjek Pajak luar negeri berlaku azas sumber.  Objek (sasaran) pajak pada Pajak Pendapatan 1944, menganut pengertian sempit, dimana yang dikenakan pajak hanya pendapatan-pendapatan yang berasal dari 4 sumber pendapatan yaitu :
1.   Hasil dari usaha dan tenaga.
2.   Hasil dari harta bergerak.
3.   Hasil dari harta tak gerak,
4.   Hak atas bayaran berkala.

    Pengertian pendapatan selain berbentuk uang, juga bukan uang seperti natura dan atau kenikmatan yang diterima atau diperoleh seseorang.  Tarif pajak yang berlaku ada 2 macam, yaitu :
1.   Tarif umum, ada 19 lapisan tarif progresif, tarif marginal mulai dari 5% sampai dengan 50%.
2.   Tarif khusus, yang berlaku bagi pendapatan tertentu sebesar 10%

     Pendapatan yang dikenakan pajak adalah Pendapatan Bersih, yaitu Pendapatan yang telah diurangi dengan Batas Pendapatan Bebas Pajak (BPBP). Besarnya BPBP setiap tahun ditentukan menurut Keputusan Menteri Keuangan.

2.   Pajak Perseroan (PPs).

     Pajak Perseroan yang diatur melalui ordonansi PPs. 1925, juga merupakan produk hukum buatan Belanda jauh sebelum kemerdekaan berakhir dilaksanakan 31 Desember 1983. Guna mengikuti perkembangan zaman dan situasi, terhadap ordonansi PPs. ini sering dilakukan perubahan dan penyempurnaan disana sini, dimana perubahan terakhir dan mendasar adalah melalui UU No.8 Tahun 1970, Tentang Perubahan & Penyempurnaan Ordonansi PPs. 1925, yang antara lain berisi ketentuan-ketentuan mengenai perangsang penanaman dan berbagai bentuk fasilitas perpajakan dalam rangka menampung kegiatan Penanaman Modal Asing (UU No. 1 Tahun 1967, serta Penanaman Modal Dalam Negeri .UU No. 6 Tahun 1968.

     Yang menjadi Subjek Pajak pada PPs. adalah Badan-Badan, baik yang modalnya terbagi atas saham atau tidak terbagi atas saham.  Subjek Pajak juga dibedakan dan dibagi atas :
1.   Subjek Pajak dalam negeri ;
2.   Subjek Pajak luar negeri.

      Pengertian laba yang menjadi objek (sasaran) pengenaan PPs, adalah paham laba material, yaitu berdasarkan kenyataan atau keadaan sebenarnya dari suatu penerimaan/ pengeluaran, dan tidak tergantung kepada nama yang diberikan dari suatu penerimaa/ pengeluaran.  Demikian pula tidak terikat/dipengaruhi oleh sistem pembukuan, pandangan, pendapat serta pikiran dari si wajib pajak.  Kemudian dalam rangka untuk menciptakan iklim yang kondusif dari perkembangan ekonomi, beban pajak diintrodusir bermacam tarif khusus berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

      Dengan demikian tarif yang berlaku ada 2 macam yaitu :
1.   Tarif Umum, dan
2.   Tarif Khusus.

   Sistem pengenaan pajak juga dilakukan dengan sistem official Assessment dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) Sementara diawal tahun, serta SKP Rampung pada akhir tahun.

3.   Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalty (PBDR)-UU PBDR 1970.

    Latar belakang yang melahirkan PBDR, adalah bahwa berdasarkan Ordonansi PPd. 1944, dan Ordonansi PPs. 1925, tidak semua orang dan badan yang bertempat tinggal di luar Indonesia dapat dikenakan pajak walaupun mereka memperoleh/menerima pendapatan dari sumber-sumber yang berasal atau datang dari Indonesia, maka untuk menggali potensi pajak dari sumber-sumber tersebut, lahirlah Perpu No.12 Tahun 1959, yang mengatur pengenaan pajak atas deviden yang dibayarkan ke luar negeri dengan sistem withholding tax, yang kemudian lebih terkenal dengan nama Undang-Undang Pajak Deviden 1959.

    Dengan terbukanya perekonomian Indonesia terhadap pihak luar, maka banyak investor dari luar negeri yang melakukan kegiatan baik langsung maupun tidak langsung, membuka kegiatan/usaha/partispasi ke Indonesia sehingga pendapatan bukan hanya dalam bentuk Deviden tapi telah berkembang dalam bentuk lain seperti bunga, dan royalty. Oleh karena itu UU Pajak Deviden diperluas objeknya, dan diganti dengan Undang-Undang Pajak atas Bunga, Deviden, dan Royalti (UU No. 10 Tahun 1970).

    Bagi WP dalam negeri, pembayaran PBDR yang dilakukan melalui pemotongan tersebut, merupakan pembayaran pajak dimuka (cicilan) dari Pajak yang terutang pada akhir tahun melalui perhitungan SKP Rampung.  Bagi WP luar negeri pemotongan PBDR merupakan pembayaran pajak bersifat final.

4.   Menghitung Pajak Sendiri (MPS), dan Menghitung Pajak Orang lain (MPO)

      Sistem ini diintrodusir melalui UU No. 8 Tahun 1967, juncto PP No. 11 Thn 1967. MPS-MPO merupakan tatacara (sistem) dari pelaksanaan pemenuhan Pajak Pendapatan, Pajak Perseroan, termasuk juga Pajak Kekayaan, dan bukan jenis pajak baru.  Dengan sistem ini WP diberi kepercayaan untuk Menghitung, Menyetor, serta Melaporkan kewajiban pajaknya sendiri, selama tahun berjalan, walaupun pada akhir tahun besarnya pajak terutang kembali ditetapkan oleh Fiskus secara jabatan melalui penerbitan Surat Ketetapan Pajak Rampung, sehingga dapat disebut sistem semi self-assessment.

      Di lain pihak system MPO, adalah Menghitung, Memungut, Menyetor, dan Melaporkan Pajak Orang lain, apabila berhubungan dengan pihak yang ditunjuk oleh Kantor Pajak sebagai pemungut. Kepada yang kena pungut oleh pemungut diberikan bukti pungutan yang dapat digunakan oleh yang bersangkutan sebagai pengurang pajak terutang pada akhir tahun. Sistem MPS-MPO berjalan secara paralel selama tahun berjalan, dan sistem inilah yang menjadi cikal bakal lahirnya sistem Self-Assessment pada saat sekarang.

   Kedua tatacara pembayaran dan pemotongan akan menjadi kredit pajak (pembayaran dimuka) pada akhir tahun pajak.  Ekses yang terjadi dari pelaksanaan sistem MPS-MPO dalam praktek, menjelmanya MPO menjadi jenis pajak tersendiri, ini terlihat dari laporan penerimaan pajak yang dipublikasikan Direktorat Jenderal Pajak di era tersebut, dengan mencantumkan besarnya penerimaan MPO setiap tahun, di samping penerimaan Pajak Pendapatan, PPs, dan Pajak Kekayaan, suatu hal menyimpang dari tujuan MPO sebagai salah satu sistem mengangsur pajak terutang selama tahun berjalan.

5.   Pembaharuan Pajak (Tax-Reform) awal Tahun 1980-an.

  Bercermin pada kegagalan pelaksanaan MPS-MPO, di samping adanya tuntutan yang mendesak, perlunya diadakan pembaharuan secara menyeluruh dari system perpajakan, dalam rangka memenuhi tuntutan APBN yang makin tahun semakin meningkat, pemerintah melaksanakan Tax-Reform secara menyeluruh dibidang perpajakan, dengan mendapat bantuan serta pandangan secara teknis dari expert luar negeri, dengan tetap memperhatikan landasan berpikir undang-undang perpajakan yang telah ada seperti PPd, PPs, Pajak Kekayaan, PBDR, IPEDA (pada waktu itu), serta sistem MPS-MPO yang masih bersifat semi Self-Assessment.

   Arah dan tujuan yang hendak dicapai dari Tax .Reform, sesuai dengan mukaddimah yang tercantum yang melatar belakangi pembaruan perpajakan adalah :
1.  Ke ikut sertaan serta partisipasi anggota masyarakat untuk bersama-sama secara gotong royong memikul beban pembiayaan dan pembangunan, dalam bentuk kontribusi membayar pajak, dalam rangka kemandirian bangsa.
2.  Lebih memberikan kepastian hukum dan keadilan bagi masyarakat sebagai pembayar pajak
3. Menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan pertumbuhan pemerataan, pembangunan, dan investasi diseluruh wilayah RI.
4.  Menunjang usaha peningkatan ekspor, terutama ekspor non migas, barang hasil olahan dan jasa-jasa dalam rangka meningkatkan perolehan devisa.
5.  Menunjang usaha pengembangan usaha kecil, untuk mengoptimalkan pengembangan potensinya, dalam rangka pengentasan kemiskinan.
6.  Menunjang pengembangan sumber daya manusia, ilmu pengetahuan, dan teknologi, pelestarian ekosistem, sumbar daya alam dan lingkungan hidup.
7.   Menunjang usaha terciptanya aparat perpajakan yang makin mampu dan makin bersih, peningkatan pelayanan kepada wajib pajak, termasuk penyederhanaan, dan kemudahaan prosedur dalam pemenuhan kewajiban perpajakan, peningkatan pengawasan atas pelaksanaan pemenuhan kewajiban perpajakan tersebut, termasuk peningkatan penegakan pelaksanaan ketentuan hukum yang berlaku.
8. Mencegah timbulnya pengenaan pajak yang berganda, dan mencegah terjadi penghindaran dari kewajiban membayar pajak.
9.  Penyederhanaan sistem tarip pajak, serta mencegah terjadi penyeludupan pajak yang merugikan pendapatan negara.

Dengan dilandasi serta latar belakang yang disebut diatas maka lahirlah :
1.  Undang-Undang No. 6 Tahun 1983, Tentang Ketentuan Umum dan Tatacara Perpajakan atau disingkat KUP.
2.   Undang-Undang No. 7 Tahun 1983, Tentang Pajak Penghasilan (PPh).
3.  Undang-Undang No. 8 Tahun 1984, Tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPNPPn.BM).

Tiga UU ini kemudian disusul dengan 2 UU lagi yaitu ;
1.   Undang-Undang No.12 Thn 1985, Tentang Pajak Bumi dan Bangunan (PBB).
2.  Undang .Undang No. 13 Tahun 1985, Tentang Bea Meterai (BM). Seluruh UU yang disebut diatas, kecuali UU Bea Meterai (UU No.13), telah mengalami beberapa kali perubahan dan penyempurnaan.